Indonesia sebuah negeri kaya dengan SDA yang melimpah, membuat mata orang- orang yang haus akan kesenangan dunia membelalak terkagum-kagum akan keindahanya. Bak sebuah mata air diantara kekeringan yang melanda sebuah daerah. Menjadikannya sebuah barang berharga yang diperebutkan tanpa kenal rasa social, egoisme muncul merenggut hak orang lain yang seharusnya dimiliki bersama.
Begitulah gambaran indonesiaku hari ini, yang dikoar-koarkan untuk dijaga sampai titik darah penghabisan. Dipuji-puji oleh nasionalis yang mengangap Indonesia adalah negara final paling ideal untuk di pertahankan.
Sebuah titik tekan yang perlu kita lihat bahwa Indonesia adalah negara yang “beradab”, maka keberadaban itu tak lepas dari sebuah pendidikan yang menyelimuti relung-relung pikiran masyarakat Indonesia meskipun factor pendidikan juga di sebabkan oleh faktor lain seperti ekonomi, politik,sosial, dan hukum, kerusakan individu adalah karena didikan yang tak bernilai dan tak membekas sama sekali. Teringat ketiika jepang diluluh lantahkan oleh bom atom amerika pada tragedy herosima dan Nagasaki. Selepas kejadian itu jepang tak bertanya seberapa besar kerusakan yang ditimpanya namun jepang bertanya ada berapa guru yang tersisa?
Begitu pula seorang yang tak bisa membaca dan menulis beratus tahun silam bernama Muhammad bin Abdullah meminta para tawanan perang badar menyuruh mengajarkan membaca bagi kaum muslimin dengan imbalan sebuah kebebasan. Inilah sebuah pernyataan Robert L. Gullick Jr., dalam bukunya, Muhammad, The Educator, menyatakan: “Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang…Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena—dari sudut pragmatis—seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik”
PENDIDIKAN BUAH DARI IDEOLOGI
Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang diartikan sebagai pengelolaan urusan rakyat(ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah ) berdasarkan ideologi yang diemban negara.
Pemahaman ini kemudian menjadi sebuah dasar yang perlu dipahami bahwa politik pendidikan (siyâsah at-ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya, dan dengan faktor ini pulalah akan yang menjalar dan mempengaruhi sluruh sub sistem yang mengatur kehidupan negara tersebut. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas kepribadian seorang manusia (sakhsiyah) begitu pula dengan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Negara yang ber ideologikan sekulerisme- kapitalis dan sosialisme-komunis mempersiapkan sebuah subsistem dan mekanisme yang mengarahkan masyarakat untuk menjadi sekuler-kapitalis dan sosialis-komunis, begitu pula pendidikan akan diarahkan menjadi seorang insan berkepribadian dan berpikiran sekuler kapitalis dan sosialis komunis. Seberapa kreatif dan inovatifnya sebuah pendidikan kalau dasar dari ideologi sebuah negara merupakan ideologi yang mengantarkan pada kerusakan manusia maka pendidikan itu tak berpengaruh apa-apa kecuali sedikit sekali bahkan tidak sama sekali. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa penopang masyarakat suatu negara adalah ideologi yang mengarahkan pada sahih dan tidaknya pemikiran manusia itu menuju sebuah kebangkitan berpikir manusia sebenarnya. Berdasarkan hal ini maka Syaikh taqiyuddin an nabhani dalam kitab Nidzamul Islam pada awal paragraf dan halaman pertama pembahasan thariqul iman mengatakan bahwa “bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan, dan sesudah kehidupan dunia. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu” . Demikian pula dengan Islam; dia akan membangun masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya. Model masyarakat yang diciptakannya tentu saja akan berbeda dengan masyarakat yang dibentuk oleh kedua sistem ideologi di atas.
Pendidikan yang sekular-materialistik saat ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi sekular, yang tujuannya sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya.
Melalui pengamatan terhadap karakteristik ideologi tersebut, jejak-langkah sistem pendidikan yang berlangsung akan mudah dipahami. Sistem pendidikan sekular-kapitalis melahirkan strategi pendidikan sekular sehingga pada gilirannya akan menciptakan tipologi masyarakat sekular-kapitalis. Begitu pula sistem pendidikan sosialisme-komunis maupun Islam.
Walhasil, pemahaman tentang karakter ideologi ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang dianut akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya, sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan serta membentuk generasi cyborg yang dikendalikan dan diatur oleh sistem busuk
Sepanjang sejarah dunia, Islam telah terbukti mampu membangun peradaban manusia yang khas dan mampu menjadi pencerah serta penerang hampir seluruh dunia dari masa-masa kegelapan dan kejayaannya +13 abad lamanya. Factor paling menentukan atas kegemilangan Islam membangun peradaban dunia adalah keimanan dan keilmuannya. Tidak ada pemisahan ataupun dikotomi atas kedua factor tersebut dalam pola pendidikan yang diterapkan. Sehingga generasi yang dihasilkan juga tidak diragukan kehandalannya hingga kini.
Sebut saja tokoh Ibnu Sina sebagai sosok yang dikenal peletak dasar ilmu kedokteran dunia namun beliau juga faqih ad-diin terutama dalam hal ushul fiqh. Masih ada tokoh-tokoh dunia dengan perannya yang penting dan masih menjadi acuan perkembangan sains dan teknologi berasal dari kaum muslimin yaitu Ibnu Khaldun(bapak ekonomi), Ibnu Khawarizm (bapak matematika), Ibnu Batutah (bapak geografi), Al-Khazini dan Al-Biruni (Bapak Fisika), Al-Battani (Bapak Astronomi), Jabir bin Hayyan (Bapak Kimia), Ibnu Al-Bairar al-Nabati (bapak Biologi) dan masih banyak lagi lainnya. Mereka dikenal tidak sekadar paham terhadap sains dan teknologi namun diakui kepakarannya pula di bidang ilmu diniyyah.
Melihat esensi dari pendidikan sebnarnya mengarahkan manusia pada sebuah proses berpikir yang sebenarnya, dimana tak ada lagi perbudakan diantara manusia yang menunjukkan ketidak berfungsinya akal dan sebagai pembeda antara mnusia dengan hewan. Keberadaan akal hakikatnya adalah sebagai pembeda agar manusia dapat berpikir lebih bahwa dia diciptakan bukan untuk menyembah sesama namun penyembahan itu harus ditujukan pada sang pembuat akal itu dialah Allah SWT. Sehingga Hakekat pendidikan itu merupakan proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridhoi Allah SWT. Hakikat tersebut menunjukkan pendidikan sebagai proses menuju kesempurnaan dan bukannya puncak kesempurnaan, sebab puncak kesempurnaan itu hanyalah ada pada Allah dan kemaksuman Rasulullah SAW. Karena itu, keberhasilan pendidikan hanya bisa dinilai dengan standar pencapaian kesempurnaan manusia pada tingkat yang paling maksimal. Maka dari sinilah kemudian diperoleh tujuan dari pendidikan Islam yang diinginkan yaitu :
- Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola piker dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa Aqidah, pemikiran, dan perilaku Islami kedalam akal dan jiwa anak didik. Karenanya harus disusun dan dilaksanakan kurikulum oleh Negara.
- Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.
Kedua tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana jika ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari pendidikan Islam tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk bekerja sinergis antara negara, masyarakat, sekolah dan yang penting pula adalah keluarga.
Pilar- pilar diataslah yang membangun sebuah mekanisme pendidikan yang berbasis kebangkitan dan karakter unggul yang telah terbukti selama kurang lebih 13 abad lamanya dan hasilnya dapat dirasakan sampai detik ini.
GURU SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENDIDIKAN IDEAL
Rasulullah SAW selaku penyampai risala Islam yang mulia merupakan cerminan yang komprehensif untuk mencapai kesempurnaan sikap, prilaku, dan pola pikir. Bahkan sayyidah ‘Aisyah tatkala ditanya oleh beberapa sahabat mengenai pribadi Rasulullah SAW menyebutkan bahwa Rasulullah itu adalah Al-Qur’an berjalan. Artinya semua kaidah kehidupan yang ditetapkan islam melalui Al-Qur’an semuanya contoh sudah terdapat dan dijumpai dalam diri Rasulullah SAW. Beliau bukan hanya menjadi seorang nabi, tapi juga kepala negara. Beliau tidak cuma sekadar bapak tapi juga guru dengan teladan yang baik.
Guru dalam Negara Khilafah Islamiyah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari Negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya ada tiga orang guru di madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp 200rb, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 12.750.000). Subhanallah, dalam sistem Khilafah para guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa di pusingkan lagi untuk mencari tambahan pendapatan.
Ternyata perhatian kepala negara kaum muslimin (Khalifah)bukan hanya tertuju pada gaji para guru dan biaya sekolah saja, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan media yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, bangunan gedung sekolah/kampus, asrama siswa, perumahan staff pengajar/guru, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-auditorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya. Semua sarana terebut diberikan secara cuma-cuma.
Sangat jelas adanya jaminan profesinalitas dan kesejahteraan guru dalam naungan khilafah Islam. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Hal ini akan menjadikan guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan Negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia. Hanya dengan Khilafah Islamiyah semata problematika pendidikan termasuk memelihara Idealisme guru dapat terlaksana dengan baik dan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar